Sabtu, 11 Juni 2011

JARINGAN DAN PENGARUH PEMIKIRAN SYEKH ‘ABD AL-SHAMAD AL-PALIMBANI

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Bersama-sama telah kita ketahui bahwasanya sejak zaman Kerajaan Sriwijaya abad ke-10, para pedagang Muslim dari Timur Tengah, terutama yang berasal dari Arab dan Persia sudah datang ke Palembang. Para penguasa Sriwijaya pada saat itu banyak memanfaatkan mereka dalam rangka misi diplomatik ke luar negeri. Namun, Islam menyebar dengan pesatnya baru dalam abad-abad menjelang kejatuhan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-14. Palembang menjadi kubu Islam yang kuat dengan  bangkitnya Kesultanan Palembang pada awal abad ke-17. Dengan berdirinya Kesultanan Palembang, maka keilmuan serta pengetahuan agama Islam berkembang pesat di Palembang.
Para Sultan Palembang mempunyai minat khusus pada agama Islam, dengan pengaruhnya, mereka mendorong tumbuhnya pengetahuan dan keilmuan di wilayah ini. Para Sultan itu tampaknya melakukan usaha-usaha tertentu agar agar para Ulama Arab menetap di wilayah mereka. Akibatnya, sejak abad ke-17 para imigran Arab terutama dari Hadhramaut mulai berdatangan dalam jumlah yang semakin bertambah. Para imigran Arab tersebut berbaur dengan masyarakat setempat.
Pertumbuhan tradisi pengetahuan dan keilmuan Islam di wilayah Palembang tak lepas dari peran para imigran Arab tersebut. Mereka merangsang dan mendorong para Sultan Palembang agar member perhatian khusus kepada masalah-masalah keagamaan. Walaupun begitu, mereka tidak melangkah terlalu jauh. Mereka tidak mengambil inisiatif, misalnya dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan agama untuk masyarakat umum, sebab tidak ada bukti bahwa lembaga-lembaga pengetahuan semacam madrasah atau pesantren berdiri di Palembang. Sebaliknya, mereka memusatkan perhatian pada istana dan memberikan sumbangan pada kebangkitan istana sebagai pusat ilmu pengetahuan. Hasilnya, istana Palembang menjadi pusat koleksi besar karya-karya keagamaan para ulama setempat.

BAB II
PEMIKIRAN ‘ABD AL-SHAMAD AL-PALIMBANI

A.      Biografi Al-Palimbani
Menurut Azyumardi Azra yang merujuk pada sumber-sumber Melayu menyatakan, nama lengkap Al-Palimbani adalah ‘Abd Al-Shamad bin ‘Abd Allah Al-Jawi Al-Palimbani, tetapi menurut sumber-sumber Arab nama lengkap Al-Palimbani adalah Sayyid ‘Abd Al-Shamad bin ‘Abd Al-Rahman Al-Jawi. Sedangkan dalam Ensiklopedi Mini Sejarah & Kebudayaan Islam menyebutkan bahwa Syekh ‘Abd Al-Shamad Al-Palimbani adalah seorang Ulama putra Indonesia yang berasal dari Palembang. Nama ayahnya adalah Syekh ‘Abd Al-Jalil bin Syekh ‘Abd Al-Wahab bin Syekh Ahmad Al-Madani. Syekh ‘Abd Al-Jalil merupakan salah seorang Muhajir yang berasal dari Yaman yang pada tahun 1112 H. atau 1700 M. menjabat sebagai mufti Kesultanan Kedah di Semenenjung Melayu.
Dari beberapa sumber tersebut terdapat perbedaan mengenai nama dari ayah Al-Palimbani. Menurut sumber Melayu, ayahnya bernama Sayyid ‘Abd Allah Al-Jawi Al-Palimbani, sedangkan menurut sumber Arab, ayahnya bernama ‘Abd Al-Rahman Al-Jawi, sedangkan dalam Ensiklopedi Mini Sejarah & Kebudayaan Islam ayahnya bernama Syekh ‘Abd Al-Jalil bin Syekh ‘Abd Al-Wahab bin Syekh Ahmad Al-Madani.
Tarikh Salasilah Negri Kedah adalah satu-satunya sumber yang memberikan angka tahun kelahiran dan kematian Al-Palimbani. Dalam sumber ini dikatakan bahwa Al-Palimbani dilahirkan sekitar tahun 1116 H./1704 M. di Palembang, ayahnya merupakan seorang sayyid. Ayah Al-Palimbani dikatakan berasal dari San’a, Yaman dan sering melakukan perjalanan ke India dan Jawa sebelum menetap di Kedah di semenanjung Melayu. Selanjutnya dia ditunjuk enjadi Qadhi di Kesultanan Kedah. Sekitar tahun 1112 H./1700 dia pergi ke Palembang. Di kota ini dia menikahi seorang wanita setempat dan kembali ke Kedah dengan putranya yang baru lahir, yaitu Al-Palimbani. Sedangkan Dalam Ensiklopedi Mini Sejarah & Kebudayaan Islam yang juga mengutip dari Tarikh Salasilah Negri Kedah dikatakan bahwa ayah Al-Palimbani sudah lama menetap di Palembang sebelum menjabat sebagai Mufti di Kesultanan Kedah, sebagai seorang muballigh bersama beberapa orang sahabatnya yang datang dari Yaman untuk hijrah ke Nusantara. Namun atas undangan seorang putra mahkota, akhirnya dia pindah ke Negri Kedah untuk diangkat menjadi Mufti Kesultana Kedah. Kemudian, dia juga menikahi seorang gadis putrid Sri Maharaja Dewa yang bernama Wan Zainab, namun, pasangan ini tidak dikaruniai keturunan. Sementara santri-santrinya di Palembang merindukakannya dan menyusulnya untuk memintanya kembali ke Palembang. Beliau kembali dan menetap di Palembang lebih dari tiga tahun. Selain berdakwah dang mengajar, beliau juga mempersunting seorang gadis bernama Radin Ranti. Dari hasil pernikahan inilah kemudian lahir Al-Palimbani pada tahun 1704 M. Selain menceritakan perjalan ayahnya, sumber ini juga menyebutkan nama ibu dari Al-Palimbani, yaitu Radin Ranti.
Dikatakan, Al-Palimbani mendapatkan pendidikan awalnya di Kedah dan Patani, mungkin di sebuah pondok. Di kemudian hari ayahnya mengirimnya untuk belajar ke Arabia. Tetapi menurut Ensiklopedi Mini Sejarah & Kebudayaan Islam, Al-Palimbani mendapatkan pendidikan dasarnya di tanah kelahirannya, di Palembang. Pada permulaan abad ke-18, Palembang menjadi salah satu pusat ilmu dan kebudayaan Islam di Nusantara, setelah Aceh mengalami kemunduran pada penghujung abad ke-17.
Mengenai kematian Al-Palimbani, Azyumardi Azra yang merujuk pada Al-Baythar menyatakan bahwa Al-Palimbani meninggal dunia setelah 1200 H./1785 M. Tetapi kemungkinan besar dia meninggal dunia setelah 1203 H./1789 M., yaitu tahun ketika dia menyelesaikan karyanya yang terakhir dan paling popular, Sayr Al-Salikin. Ketika dia menyelesaikan karya ini, mestinya umurnya adalah 85 tahun. Dalam Tarikh Salasilah Negri Kedah, diriwayatkan dia terbunuh dalam perang melawan Kerajaan Thai pada 1244 H./1828 M. Tetapi, menurut Azyumardi Azra, penjelasan ini sulit diterima karena tidak ada bukti dari sumber-sumber lain yang menunjukkan  Al-Palimbani pernah kembali ke Nusantara. Selain itu, waktu itu mestinya umurnya sudah 124 tahun, usia yang terlalu tua untuk ikut terjun ke medan perang. Meski Al-Baythar tidak menyebutkan di mana Al-Palimbani meninggal dunia, ada kesan kuat dia meninggal di Arabia.

B.       Karya
Sebagai seorang Ulama yang pernah belajar pada para Ulama yang ahli dalam berbagai bidang ilmu, Al-Palimbani juga menguasai berbagai bidang ilmu keagamaan. Dari penguasaan terhadap ilmu-ilmu tersebut beliau menggagas pemikiran keislaman melalui karya-karyanya. Di antara karya-karya beliau adalah :
a.       Fada’il al-Ihya' li al-Ghazali. Di sini, Al-Palimbani melampaui para Ulama pendahulunya di abad XVII yang hanya menjadikan karya Al-Ghazali sebagai salah satu acuan dalam karya-karya mereka. Oleh karena itu, seperti dikatakan para ahli sejarah Islam, Al-Palimbani kerap digambarkan sebagai “penerjemah” paling menonjol terhadap karya-karya al-Ghazali di antara para ulama Melayu-lndonesia.
  1. Hidayah al-Salikin fî Suluk Maslak al-Muttaqin. Kitab ini terutama membicarakan tentang aturan-aturan syar'ah. Karya ini kerap kali memang dikatakan sebagai terjemahan dari karya Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah. Meskipun demikian, pada saat yang sama dia juga merujuk pada banyak karya lain di luar Bidayah al-Hidayah. Di antara karya Al-Ghazali lain yang diacu Al-Palimbani adalah Ihya’ 'Ulum al-Din, Minhaj al-'Abidin dan al-Arba’in fî Usul al-Din. Lebih dari itu, Al-Palimbani dalam karyanya ini menyebut sejumlah karangan beberapa ulama lain di luar Al-Ghazali, di antaranya adalah Yawaqit al-Jawahir karya al-Sya'rani, al-Durr al-Tsamin karya 'Abd Allah al-Aydarus, dan Bustan al-Arifin karya al-Qusyasyi.
  2.  Sayr al-Salikin ila 'Ibadah Rabb al-Alamin. dalam beberapa segi merupakan penjelasan lebih lanjut dari karyanya yang disebut di atas. Oleh karena itu, seperti halnya Hidayah al-Salikin, Sayr al-Salikin ini juga banyak mengacu karya-karya al-Ghazâlî, khususnya Lubab Ihya’ 'Ulum al-Din, di samping karya-karya para ulama seperti Ibn ‘Arabi, Al-Jili ibn 'Ata' Allah, dan Al-Sya'rani, dan ulama-ulama lain. Lebih dari itu, Al-Palimbani juga membuat acuan pada karya-karya para pendahulunya di wilayah Melayu-lndonesia, seperti Al-Sinkili, dan bahkan Syamsuddin Al-Samatrani, telah dianggap sebagai ulama menyimpang. Semua bukti ini merupakan bukti bahwa al-Palimbani mempunyai bukan hanya hubungan guru-muirid, tetapi juga kaitan intelektual dengan banyak tokoh penting dalam jaringan ulama..
  3. Tuhfah al-Raghibin fi Bayan Haqiqah Iman al-Mu’minin. Di mana ia memperingatkan pembaca agar tidak tersesat oleh berbagai paham yang menyimpang dari Islam seperti ajaran tasawuf yang mengabaikan syariat, tradisi menyanggar (memberi sesajen) dan paham wujudiyyah muljid (secara harfiah berarti kesatuan wujud ateistik) yang sedang marak pada waktu itu. Drewes rnenyimpulkan bahwa kitab ini ditulis atas permintaan Sultan Palembang, Najmuddin, atau putranya Bahauddin karena di awal kitab itu ia memang menyebutkan bahwa ia diminta seorang pembesar pada waktu itu untuk menulis kitab tersebut.
  4.  Zuhrah al-Murid fi Bayan Kalimah al-Tauhid.Ditulis di Mekkah pada 1178 H./1764 M. berisi teentang masalah tauhid yang ditulisnya atas permintaan pelajar Indonesia yang belum menguasai Bahasa Arab, kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu.
  5.   Al-‘Uwah al-Wusqa wa Silsilah Ulil-Ittiqa’, berisi wirid-wirid yang perlu dibaca pada waktu-waktu tertentu. Karya ini ditulis dalam bahasa Arab.
  6.  Ratib ‘Abdal-Samad, semacam buku saku yang berisi zikir, puji-pujian dan doa yang dilakukan setelah shalat Isya. Pada dasarnya isi kitab ini hampir sama dengan yang terdapat pada Ratib Samman.
  7. h.      Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-’Alamin, berisi ringkasan ajaran tauhid yang disampaikan oleh Syekh Muhammad al-Samman di Madinah.
  8.  Nasihah al-Muslimin wa Tazkirah al-Mu’min fi Fadha’il Jihad fi Sabilillah, kitab ini berisi tentang seruan jihad umat Islam sedunia. Tulisannya ini sangat berpengaruh terhadap perjuangan Kaum Muslimin baik di Palembang maupun di daerah-daerah lainnya. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab.

C.      Perkembangan Pemikiran
Mengingat jenis Ulama dengan siapa dia belajar, pendidikan Al-Palimbani ini sangat tuntas. Dia pasti telah mempelajari ilmu-ilmu seperti hadits, fiqih, syari’at, tafsir, kalam dan tasawuf. Al-Palimbani tampaknya punya kecendrungan kuat terhadap mistisme, dan jelas dia mempelajari tasawuf terutama dengan Al-Sammani, yang darinya juga mengambil Tarekat Khalwatiyah dan Sammaniyah (Azyumardi Azra, 2005 : 312).
Tarekat Khalwatiyah yang dipelajari Al-Palimbani dari Al-Sammani tentu saja berbeda dengan Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf Al-Maqassari, sebagaimana yang diungkapkan oleh Musyrifah Sunanto yang dikutip oleh Sri Mulyati, tarekat Khalwatiyah Yusuf disandarkan kepada Syekh Yusuf Al-Maqassari dan tarekat Khalwatiyah Samman diambil dari seorang Sufi Madinah abad ke-18, Muhammad Al-Samman. Kedua cabang tarekat Khalwatiyah ini sama sekali berbeda satu sama lainnya, tidak terdapat banyak kesamaan selain kesamaan nama.
Al-Palimbani menentang pandangan spekulatif yang tak terkontrol dalam mistisisme; dia mencela doktrin-doktrin yang dikatakan wujuiyyah mulhid (secara harfiah berarti kesatuan wujud ateistik) serta praktik-praktik keagamaan pra-Islam, seperti persembahan religius untuk ruh para leluhur.
Sebagaimana Al-Raniri, al-Palimbani membagi doktrin wujud ke dalam dua jenis: wujudiyyah mulhid (kesatuan wujud ateistik) dan wujudiyyah muwahhid (ksatuan wujud uniterisme). Menurut al-Palimbani, para pengikut doktrin wujudiyyah mulhid berpendapat bahwa rukun iman pertama, yaitu lâ ilâha illâ Allâh (tidak ada Tuhan selain Allah), berarti "tidak ada hal semacam itu sebagaimana wujud kami, kecuali hanya Wujud Tuhan, yaitu, karmi adalah Wujud Tuhan". Oleh karena itu, dalam karyanya, Al-Palimbani menjelaskan :
“.... Lagi pula mereka itu inna Al-Haq subhanahu wa ta'ala laysa bi mawjud illa fi dhimm wujud Al-ka'inat, yakni, hakikat bahwa sesungguhnya Haq Ta’ala tiada wujud melainkan di dalam kandungan wujud segala makhluk, maka adalah mereka itu menisbatkan keesaan Haq Ta’ala di dalam wujud makhluk ... dan lagi pula kata mereka itu: "Kami dengan Allah sebangsa (dan) sewujud"; dan lagi pula kata mereka itu: "bahwa Allah Ta’ala ketahuan zat (esensi)-Nya dan nyata kaifiat-Nya daripada pihak ada Ia Maujud pada kharij (luar) dan pada zaman dan makam (tempat). Maka sekalian i'tikad itu kafir”.”.
            Adapun pandangan Al-Palimbani mengenai nafsu, dia tida puas dengan ajaran Al-Ghazali tentang tiga tingkatan jiwa dalam diri manusia (ammarah, lawwamah dan muthma’innah). Yang berakhir dengan ketentraman dan kemantapan menerima segala keadaan yang dihadapi dalam hidup di dunia ini. Ia memilih tujuh tingkatan jiwa (ammarah, lawwamah, mulhammah, muthma’innah, radhiyah, mardhiyah dan kamilah) yang berakhir dengan kemampuan mengarungi dan menggumuli kehidupan dunia yang penuh dengan kesesatan untuk melaksanakan misi sucinya, yaitu membawa manusia ke jalan Allah. Dari keterangan ini, jelaslah bahwa walaupun sebagian karyanya banyak yang mengutip dari karya-karya Al-Ghazali, namun dalam pandangannya terhadap tingkatan jiwa yang dimiliki manusia Al-Palimbani mempunyai perbedaan pandangan.
Adapun pandangan Al-Palimbani mengenai Syari’at, dia percaya bahwa Tuhan hanya dapat didekati melalui keyakinan yang benar pada Keesaan tuhan yang mutlak dan kepatuhan pada ajaran-ajaran syarii’at. Meskipun dia menerima pendapat-pendapat tertentu dari Ibn ‘Arabi atau Al-Jilli, terutama menyangkut doktrin Insan Kamil, Al-Palimbani menafsirkan mereka dipandang dari sudut ajaran-ajaran Al-Ghazali. Dia memberikan teana dalam tasawufnya lebih banyak pada penyucian pikiran dan perilaku moral daripada pencarian mistisisme spekulatif dan filosofis. Ini berarti bahwa tasawufnya lebih merupakan tasawuf akhlaqi atau tasawuf ‘amali yang bernuansa Sunni ketimbang tasawuf falsafati. Tentang ma’rifat, ia mengakui ajaran Al-Ghazali yang memandang bahwa tingkat ma’rifat tertinggi yang harus dicapai seorang sufi adalah memandang Allah secara langsung, dengan mata hati yang telah bebas dan bersih dari segala noda dan godaan keduniaan. Akan tetapi, kesempurnaan seorang sufi, menurutnya belum tercapai dengan mengasingkan diri dari segala kesibukan hidup kemasyarakatan, beruzlah dan berdzikir mengingat Allah saja, melainkan juga dalam keterlibatan aktif dalam arus kehidupan nyata ini dalam memancarkan Asma’ Allah yang Mulia melalui amal perbuatan nyata, sehingga keesaan Allah yang mutlak dalam keanekaragaman yang memenuhi alam kehidupan ini dapat dipandang dalam keesaan mutlak (musyahadah al-wahdah fi al-katsrah dan musyahadah al-katsrah fi wahdah).

D.      Pengaruh Pemikiran
Sepanjang menyangkut kepatuhan Al-Palimbani pada tarekat, dia sangat dipengaruhi oleh Al-Sammani. Sebaliknya, melalui Al-Palimbanilah tarekat Sammaniyah mendapatkan lahan subur bukan hanya di Palembang, tetapi di daerah-daerah lain di wilayah Nusantara. Al-Sammani dan tarekat Sammaniyah menjadi subjek utama dalam tulisan-tulisan para ulama Palembang sesudahnya.
Di Palembang, Tarekat Sammaniyah juga mendapat tempat tersendiri. Menurut temuan Peeters, Al-Palimbanilah yang menjadi juru dakwah Tarekat Sammaniyah. Ia juga berkesimpulan bahwa para Sultan Palembang berperan penting sebagai pelindung Tarekat Sammaniyah. Seperti telah disebutkan di atas, Tarekat Sammaniyah bukan hanya di Palembang, tetapi di wilayah-wilayah lain di Nusantara.
Seperti di Kalimantan Selatan, namun perkembangan Tarekat ini di Kalimantan Selatan bukan melalui Al-Palimbani, tetapi melalui M. Nafis Al-Banjari. Adapun untuk penyebaran Tarekat Sammaniyah ke wilayah Banten, Al-Palimbani secara tidak langsung punya peranan. Hal ini disebabkan karena Syekh Nawawi Al-Bantani yang hidup satu abad setelah Al-Palimbani sempat berguru kepada murid-murid Al-Palimbani (di Haramayn).
Seperti yang telah disebutan sebelumnya, bahwasanya Al-Palimbani tidak pernah kembali ke Nusantara. Dia mencurahkan waktunya di Haramayn untuk menulis dan mengajar. Al-Baythar meriwayatkan, pada 1201H./1787 M., Al-Palimbani mengadakan perjalanan ke Zabid, di sini dia mengajar murid-murid terutama dari keluarga Ahdal dan Al-Mizjaji. Riwayat ini sesuai dengan penjelasan Abdullah mengenai perjalanan Al-Palimbani ke Zabid dan pertemuannya dengan para Ulama dan murid setempat. Salah seorang muridnya di Zabid adalah Wajih Al-Din ‘Abd Al-Rahman bin Sulayman bin Yahya bin Umar Al-Ahdal (1179-1265 H./1765-1839 M.), muhaddis yang di kemudian hari menduduki jabatan sebagai Mufti Zabid. Wajih Al-Din Al-Ahdal menganggap Al-Palimbani sebagai gurunya yang paling penting, sebab dia memasukkan riwayat hidupnya ke dalam kamus biografinya yang berjudul Al-Nafs Al-Yamani wa Al-Ruh Al-Rahyani. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa pengaruh pemikiran Al-Palimbani bukan hanya di Nusantara tetapi juga di Arabia karena di sana banyak murid-murid yang pernah belajar kepadanya.
Mengenai hubungan dan koneksi ilmiahnya, Al-Palimbani tak pelak lagi adalah Ulama Melayu-Indonesia paling menonjol dalam jaringan Ulama abad ke-18. Namun, peranan pentingnya dipandang dari sudut perkembangan Islam di Nusantara tidak hanya karena keterlibatannya dalam jaringan Ulama, melainkan labih penting lagi karena tulisan-tulisannya, yang dibaca secara luas di wilayah Melayu-Indonesia. Dalam karya-karyanya, Al-Palimbani menyebarkan bukan hanya ajaran-ajaran para tokoh neo-Sufi, tetapi juga menghimbau Kaum Muslimin untuk melancarkan jihad melawan orang-orang Eropa, terutama Belanda yang terus menggiatkan usaha-usaha mereka menundukkan entitas-entitas politi Muslim di Nusantara. Bahkan, Hikayat Perang Sabil yang ditulis oleh Teungku Cik Di Tiro juga dikabarkan mengutip dari salah satu karya Al-Palimbani, yaitu Nasihah al-Muslimin wa Tazkirah al-Mu’min fi Fadha’il Jihad fi Sabilillah.

E.       Jaringan Pemikiran
Al-Palimbani yang lahir di Palembang, seperti telah dikemukakan sebelumnya tidak pernah kembali ke tanah kelahirannya. Meskipun begitu, Al-Palimbani tetap menaruh perhatian besar terhadap Islam dan Kaum Muslimin di wilayah Melayu-Indonesia. Di Haramayn, Al-Palimbani terlibat dalam komunitas Jawi dan menjadi kawan seperguruan Muhammad Arsyad Al-Banjari, ‘Abd Al-Wahhab Bugis, ‘Abd Al-Rahman Al-Batawi dan Dawud Al-Fatani. Keterlibatannya dalam komunitas Jawi membuatnya tetap peduli tehadap perkembangan-perkembangan sosio-religius dan politik di Nusantara.
Saat di Haramayn, Al-Palimbani dan kawan-kawannya belajar kepada para Ulama setempat amupun para Ulama yang datang ke Haramayn. Para guru Al-Palimbani dan kelompoknya merupakan Ulama-ulama yang ahli dalam berbagai bidang keilmuan.
Al-Palimbani dan kelompoknya pada dasarnya mempunyai guru-guru yang sama. Yang paling masyhur di antara mereka adalah Muhammad bin ‘Abd Al-Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi dan ‘Abd Al-Mun’im Al-Damanhuri. Al-Baythar, di samping menyebutkan Muhammad (bin Sulayman) Al-Kurdi, juga mengetengahkan daftar guru-guru lainnya dari Al-Palimbani. Mereka adalah Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari dan Atha’ Allah Al-Mashri. Sebagian para Ulama ini adalah juga guru-guru keempat kawan Al-Palimbani.
Keempat guru yang disebutkan terakhir merupakan guru-guru yang penting bagi Al-Palimbani dan kawan-kawan.Dari keempat guru yang disebutkan terakhir dia atas, Al-Palimbani dan kawan-kawan mendapatkan manfaat yang cukup besar. Mereka adalah Ulama-ulama yang menghubungkan Al-Palimbani dan kawan-kawannya sesama orang Melayu-Indonesia dengan jaringan Ulama yang luas. Oleh karena itu, penting untuk meneliti secara ringkas biografi keempat guru terakhir ini.
Al-Jabarti mengungkapkan, Ibrahim Al-Zamzami Al-Rais menguasai berbagai macam pengetahuan agama, salah satu keahliannya adalah ‘ilm al-falak (astronomi). Di antara guru-gurunya adalah ‘Abd Allah Al-Bashri, Ibn Thayyib, Ahmad Al-Jawhari, Atha’ Allah Al-Mashri dan Hasan Al-Jabarti, ayah dari sejarahwan Al-Jabarti. Dia mengambil tarekat Khalwatiyah dari Mushthafa Al-Bakri dan Tarekat Naqsabandiyah dari ‘Abd Al-Rahman Al-‘Aydarus. Yang tak kalah pentingnya, dia adalah guru dari Murtadha Al-Zabidi dan Shalih Al-Fullani, keduanya adalah tokoh-tokoh utama jaringan Ulama abad ke-18. Ibrahim Al-Ra’is juga erat dikaitkan dengan Mushthafa Al-‘Aydarus dan dengan beberapa Ulama dari keluarga Ahdal serta Mizjaji, termasuk aya Sulayman Al-Ahdal, salah seorang murid Al-Palimbani.
Sedangkan mengenai Muhammad Murad, ada bukti kuat bahw adia adalah Muhammad khalil bin ‘Ali bin Muhammad bin Murad Al-Husayni (1173-1206H./1759-1791 M.), lebih dikenal dengan Al-Muradi, terutama karena kamus biografi empat jilidnya, Silk Al-Durar, dia hidup sezamam dengan Al-Palimbani. Al-jabarti, kawan baiknya menyatakan bahwa Al-Muradi terutama tinggal di Damaskus, tetapi dia banyak melakukan perjalanan termasuk ke Haramayn untuk mencari informasi mengenai Ulama yang akan ditulisnya dalam kamus biografinya. Selama dalam perjalan, dia tidak hanya menambah pengetahuannya, tetapi juga mengajar murid-murid. Meski dikenal sebagai ahli sejarah, Al-Jabarti mengungkapkan dia adalah “tiang syariat” dan “rumah pengetahuan” di Syiria di masa hidupnya, dia menguasai sepenuhnya baik ilmu lahir maupun batin.
Guru Al-Palimbani selanjutnya adalah Muhammad Al-Jawhari, adalah putra seorang muhaddis Mesir terkemuka, Ahmad bin Hasan bin ‘Abd Al-Karim bin Yusuf Al-Karimi Al-Khalidi Al-Jawhari Al-Azhari. Seperti ayahnya, Ahmad Al-Jawhari juga dikenal sebagai ahli hadits. Dia sering mengadakan perjalanan ke Haramayn, selain untuk ibadah haji juga mengajar murid-muridnya. Selama menerima hadits dari ayahnya, dia memiliki isnad-isnad melalui ayahnya yang menghubungkannya dengan para Ulama seperti ‘Abd Allah Al-Bashri dan Ahmad Al-Nakhli. Oleh karena itu, dia merupakan  isnad yang paling banyak dicari dalam jaringan ulama dalam periode ini
Ulama terakhir dalam daftar guru-guru Al-Palimbani adalah Atha’ Allah bin Ahmad Al-Azhari Al-Mashri Al-Makki yang juga guru dari Ibrahim Al-Ra’is. Atha’ Allah adalah muhaddis ternama dan kawan baik Muhammad Al-Sammani, Muhammad Al-Jawhari dan Murtadha Al-Zabidi. Tampaknya setelah menyelesaikan kuliahnya di Universitas Al-Azhar, Mesir, dia pindah ke Mekkah, di sini ia sangat aktif mengajar. Di antara murid-muridnya adalah Abu Al-Hasan Al-Sindi Al-Shaghir dan Shalih Al-Fullani dan sejumlah Ulama Yaman. Seperti Muhammad Al-Jawhari, Atha’ Allah dianggap sebagai isnad unggul dalam telaah hadits.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, 2005, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Melayu Abad XVII & XVIII”, Jakarta : Kencana.
Mulyati, Sri, 2005, “Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia”, Jakarta : Kencana.
Solihin, M & Anwar, Rosihon, 2008, “Ilmu Tasawuf”, Bandung : CV. Pustaka Setia.
Karya, Soekarna d.k.k., 1996, “Ensiklopedi Mini Sejarah & Kebudayaan Islam”, Jakarta : Logos Wacana lmu.
Fathurahman, Oman, 2010, “Neo-Sufisme “Ghazalian” Abdussamad Al-Palimbanihttp://naskahkuno.blogspot.com/2007/07/neo-sufisme-ghazalian-abdussamad-al.html
Asrina & Sucipto Hery, 2010, “Mengenal Syekh Abdush Shamad Al-Palimbani” www. Infokito.htm









Tidak ada komentar:

Posting Komentar